Laman

Minggu, 08 Mei 2011

Hanya 3 dari 143 Kunker DPR ke Luar Negeri yang Dilaporkan

Jakarta - Sejak pelantikannya pada Oktober 2009, hingga kini tercatat ada 143 kali kunjungan kerja badan kelengkapan DPR ke luar negeri. Ironisnya hanya tiga perjalanan yang laporannya dipublikasikan kepada masyarakat dan itu pun tidak mencakup relevansi hasil temuan studi banding terhadap RUU yang dijadikan alasan ke luar negeri.

"Kami menilai studi banding DPR telah gagal dan karenanya perlu moratorium. Bukan sekadar pemangkasan anggaran, penjadwalan ulang atau penundaan, tapi dihentikan sama sekali sampai ada perbaikan yang menjamin efektivitas studi banding," ujar Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Ronald Rofiandri, kepada detikcom, Minggu (8/5/2011).

Berdasar data yang dimiliki PSHK, tercatat bahwa alat kelengkapan DPR 2009-2014 (tidak termasuk Badan Kerja Sama Antar Parlemen/BKSAP) melakukan perjalanan ke luar negeri sebanyak 143 kali. Sebanyak 58 perjalanan di antaranya adalah untuk keperluan studi banding.

Dari 143 kali kunjungan ke luar negeri tersebut hanya tiga laporan yang dipublikasikan, yakni oleh Komisi III DPR. Tapi isi laporannya berbeda-beda dari segi format, muatan dan bobot informasi yang disajikan.

"Bahkan untuk studi banding yang ke Swedia, laporannya hanya satu lembar yang sekadar deskripsi singkat kegiatan dan jadwal. Laporan studi banding Panja RUU Hortikultura ke Belanda juga hanya dua halaman dan tidak menjelaskan secara rinci bagaimana kaitan antara temuan dan hasil telaah selama studi banding dengan capaian terakhir substansi RUU," papar Ronald.

Demikian juga dengan laporan studi banding BURT DPR (Maroko, Jerman, dan Perancis), Panja RUU Kepramukaan (Korea Selatan, Jepang dan Afrika Selatan) atau BK DPR ke Yunani. Hingga kini laporan belum dipublikasikan secara resmi melalui situs www.dpr.go.id untuk memenuhi prinsip akuntabilitas dan transparansi terhadap masyarakat.

"Padahal laporan tersebut sebenarnya sudah ada, setidaknya dari apa yang diberikan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) DPR kepada Indonesia Corruption Watch (ICW)," sambung dia.

Daftar Kunjungan tersebut mengkonfirmasi pula bahwa Komisi I DPR (urusan pertahanan, luar negeri dan informasi) paling aktif mengadakan studi banding selama masa reses yaitu ke Amerika Serikat, Rusia, Turki, Perancis dan terakhir Italia.

"Padahal akhir 2010 lalu Komisi I sempat berjanji mendukung moratorium studi banding, mesti tidak jelas juga apa batasannya," imbuh Ronald.

Terhadap beragam fakta itu sangat mempertaruhkan risiko keefektivitasan studi banding DPR ke luar negeri. Patut dipertanyakan pula urgensi serta kemampuan studi banding sebagai alat bantu mendapatkan data dan informasi.

Sebagai langkah perbaikannya, PSHK mengusulkan dilakukan seleksi ketat terhadap setiap usulan studi banding. Materi seleksi di antaranya meliputi tranparansi, urgensi, waktu tata tertib bahkan sanksi bagi alat kelengkapan DPR yang belum menyampaikan laporan yang komprehensif tentang hasil studi banding.

"Misalnya di periode sebelumnya ada Panja RUU yang studi banding ke luar negeri dan kebetulan RUU itu belum tuntas sehingga masuk ke periode berikutnya. Apakah yang begini ini juga perlu studi banding lagi? Kami juga mencatat studi banding dilakukan di akhir masa pembahasan, bukan sedari awal saat penyusunan materinya," imbuh Ronald.

(lh/nrl)

detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar